KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan salam dilimpahkan kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kedamaian dan rahmat bagi alam semesta.
Karya tulis ilmiah
ini disusun bertujuan untuk menyelesaikan tugas . Dan terimakasih kami ucapkan kepada guru
yang membimbing dan teman- teman yang ikut serta dalam penyusunan karya ilmiah
yang berjudul “ Hilangnya Budaya Andalas” .
Kami berharap karya
ilmiah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penyusun sendiri, umumnya
bagi semuanya. Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan
dalam penyajian data pada karya tulis ilmiah, untuk itu kami mohon kritikan dan
saran dari kesempurnaan tulisan ini.
Penulis,
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar .....................................................................................................1
Daftar
Isi ...............................................................................................................2
Bab
I. Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang Masalah....................................................................3
1.2
Ruang
Lingkup .................................................................................3
1.3
Maksud
dan Tujuan Penulisan...........................................................3
1.4
Perumusan
Masalah...........................................................................3
1.5
Manfaat
Penulisan.............................................................................3
Bab
II. Pembahasan
2.1
Surau sebagai Tempat Belajar...........................................................5
2.2
Rumah Gadang sebagai Tempat Tinggal .........................................6
2.3
Talempong.........................................................................................6
2.4
Randai ..............................................................................................7
2.5
Baju kuruang ....................................................................................8
2.6
Makan Bajamba, Duduak Basimpuah dan Baselo
serta Makan dengan Tangan ............................................................9
2.7
Permainan Anak Nagari ..................................................................9
2.8
Hilangnya Pembatas Pergaulan antara Laki-laki
dan Perempuan .10
2.9
Hilangnya Tata Krama......................................................................11
Bab
III . Penutup
3.1
Kesimpulan
.......................................................................................12
3.2
Saran
dan Kritik ................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Minangkabau
merupakan salah satu suku bangsa indonesia yang tersebar di wilayah Sumatera
Barat. Orang Minangkabau akan merasa terhina jika dirinya disebut tidak beradab
karena semenjak islam masuk ke Minangkabau, adat Minangkabau mulai menyatu
dengan ajaran islam, seperti istilah yang kita kenal yaitu “Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Maksud dari konsep tersebut adalah
orang yang tidak beradab akan termasuk ke dalam kategori orang yang tidak
beragama dalam masyarakat Minang.
Masyarakat
Minangkabau memiliki ragam budaya, adat istiadat dan kebiasaan yang sesuai
dengan ajaran islam, namun pada saat ini kebudayaan masyarakat Minangkabau
mulai pudar dan menghilang karena perkembangan zaman saat ini. Kami harap
dengan adanya perlombaan karya ilmiah ini kita bisa menjaga dan melestarikan
kebudayaan kita sendiri.
1.2 Ruang lingkup
Ruang lingkup karya ilmiah ini meliputi :
1.
Kebudayaan
Minangkabau yang mulai hilang
2.
Penyebab
kebudayaan Minangkabau mulai menghilang
1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan
1.
Agar
kita mengetahui kebudayaan Minangkabau yang mulai hilang
2.
Agar
kita mau menjaga dan melestarikan kebudayaan Minangkabau
1.4 Rumusan Masalah
1.
Apa
saja kebudayaan Minangkabau yang mulai hilang ?
2.
Apa
buktinya bahwa kebudayaan tersebut mulai hilang ?
1.5 Manfaat Penulisan
Dengan adanya
penulisan karya ilmiah ini kami harap kita semua mengetahui kebudayaan
Minangkabau yang mulai hilang dan kita dapat memelihara kebudayaan Minangkabau
tersebut. Pada dasarnya kebudayaan Minangkabau itu tidak akan pernah hilang
dalam masyarakat Minangkabau sendiri tapi mungkin makna adat dan budaya itu
akan pudar pada generasi muda penerus. Dengan dasar itulah kami membuat artikel
ini sebagai pengingat adat budaya Minangkabau kepada generasi muda. Sebagaimana
pepatah Minangkabau “ndak langkang
dek paneh ndak lapuah dek hujan” yang artinya adat Minangkabau itu
fleksibel karena ilmu dasar atau kata kunci dari adat itu sendiri, merupakan salah
satu unsur elemen di bumi ini yaitu air.
BAB II
PEMBAHASAN
II. Kebudayaan
– kebudayaan Minangkabau yang mulai hilang meliputi :
1.
Surau
sebagai Tempat Belajar
Anak laki – laki Minang dahulunya
menjadikan surau sebagai tempat berdiskusi, mencari dan menuntut ilmu. Di sana
mereka diajarkan mengaji dan silat bahkan tak jarang mereka tidur pun di Surau.
Secara keseluruhan pada dahulunya
pendidikan yang dilakukan di surau merupakan pendidikan moral, spiritual,
kepribadian dan sosial karena pada dasarnya kaum muda di daerah Minangkabau ditanamkan
rasa saling memiliki ( ciek raso) yang di jabarkan dalam pepatah “barek
samo di pikua ringan samo di jinjiang”, apapun yang terjadi pada masyarakat
dahulu di tanamkan kepada kaum muda tanggung jawab bersama dalam satu kampung.
Satu kesalahan adalah kesalahan semua, dan satu kebaikan adalah kebaikan semua,
dan di surau juga kaum muda ditempa untuk memutuskan suatu masalah, menghargai
pendapat orang, dan melaksanakan apa yang telah diputuskan yang dicerminkan dalam
sebuah kata “bulek aia di pambuluah, bulek kato di mufakat” makna
mendasar dari kata tersebut adalah musyawarah menuju mufakat. Jadi, Surau
merupakan pusat atau sentral pendidikan secara rohani dan sosial masyarakat dan
pusat informasi untuk kemajuan suatu daerah.
Kebiasaan ini sudah sangat jarang kita
jumpai saat sekarang ini, Surau dan Masjid hanya difungsikan sebagai tempat ibadah
itu pun tidak sempurna seutuhnya tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Banyak Surau dan Masjid yang kosong saat ini walaupun hanya untuk melakukan
ibadah shalat, sekarang para generasi muda hanya belajar mengaji di MDA saja
itu pun hanya sampai SD sehingga mereka banyak tidak lancar membaca Al-Qur’an
dan hafal Al-Qur’an.
Sebagian dari niniak mamak dan kebanyakan
dari pemuda zaman sekarang kita jumpai di Lapau (Kadai) untuk sekedar minum
kopi, bercengkrama dan di tempat hiburan seperti Diskotik, Warnet (Warung Internet
) atau tempat rental PS (Playstation).
2.
Rumah
Gadang sebagai Tempat Tinggal
Fungsi utama dari Rumah Gadang adalah sebagai tempat kediaman keluarga, sebagai tempat bermufakat, sebagai
tempat melaksanakan upacara, dan sebagai
tempat merawat keluarga. Orang – orang terdahulu bergotong royong
untuk mendirikan Rumah Gadang. Rumah Gadang terdiri atas sembilan ruang dengan
fungsi yang berbeda-beda. Ada yang digunakan untuk tempat tidur pribadi, kamar
untuk anak yang baru menikah dan ada pula yang digunakan untuk tempat tidur
tamu. Di halaman depan Rumah Gadang terdapat beberapa Rangkiang yaitu tempat
untuk menyimpan beras. Rangkiang digunakan pada saat kondisi sedang krisis
pangan atau ada sanak saudara yang membutuhkan beras untuk dimakan. Fungsi
sosial dan ekonomi sangat jelas terlihat di sini.
Namun, saat ini Rumah Gadang sudah
beralih fungsi menjadi tempat pertemuan untuk menyelesaikan masalah, baik
masalah antara anak dengan orang tua, antara suami dan istri, mamak dengan
kemanakan, dan sebagainya. Rumah Gadang tidak dijadikan sebagai tempat tinggal
lagi. Orang Minang lebih memilih untuk membangun rumah baru dengan desain
menyerupai rumah orang Eropa. Di satu sisi sangat disayangkan kita tidak
tinggal di Rumah Gadang lagi, tapi di lain sisi kita harus pindah dari Rumah
Gadang karena bangunannya yang mulai rapuh. Fungsi Rumah Gadang tidak ada
salahnya dialihkan sebagai tempat pertemuan dan diskusi untuk menyelesaikan
suatu masalah, namun sejarah Rumah Gadang jangan sampai kita lupakan.
3.
Talempong
Talempong adalah alat musik pukul khas
Minangkabau. Talempong terbuat dari bahan kuningan, tapi ada juga yang terbuat
dari tembaga dan batu. Talempong ini berbentuk bundar dengan bagian berlobang
di bawahnya sedangkan bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol
berdiameter lima sentimeter sebagai tempat untuk dipukul. Talempong memiliki
nada-nada yang berbeda. Bunyi dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan
pada permukaannya. Talempong biasanya digunakan dalam pertunjukan atau
penyambutan seperti tari piring, tari pasambahan, dan tari gelombang, serta
pada saat iring-iringan marapulai anak daro (telempong pacik ).
Zaman sekarang pemuda pemudi Minang lebih
senang memainkan piano dan gitar dibandingkan talempong. Padahal antara piano
dan talempong memilki nada yang sama. Hanya cara memainkannya saja yang
berbeda, jika piano ditekan tutsnya, talempong dimainkan dengan memukul
permukaannya. Yang lebih parah lagi bahkan ada pemuda minang yang tidak
mengetahui sama sekali apa itu talempong dan bagaimana bentuk talempong
tersebut. Bahkan dalam masyarakat sendiri dalam acara – acara tertentu ( acara
adat sendiri ) talempong sudah digantikan dengan alat-alat musik modern saat
ini dengan dalih efisiensi dan modernisasi padahal dalam masalah filosofinya
tingkat nada yang di keluarkan oleh musik talempong yang diatur dalam tinggi
rendahnya nada merupakan cerminan gambaran kehidupan masyarakat Minangkabau.
4.
Randai
Randai merupakan salah satu permainan
anak nagari Minangkabau. Randai dimainkan oleh beberapa orang sekitar 6-10
orang. Dalam randai ada seorang pendendang yang akan membuka cerita dan memberi
salam kepada penonton yang diiringi oleh seorang pemain saluang. Pada saat
randai dimulai, para pemain terlebih dahulu memberi salam kepada penonton.
Setelah itu mereka melingkar dan memulai gerakan-gerakan silat dengan nada
hep-tah-tiah yang dipimpin oleh satu orang. Kemudian barulah kaba (cerita)
dimainkan sampai selesai. Randai merupakan visualisasi atau cermin dari
kehidupan masyarakat Minangkabau yang diceritakan melalui visual gerak,
tari,dan sajak yang menceritakan sejarah perjalanan dan perkembangan masyarakat
di Minangkabau.
Di zaman era globalisasi ini randai
kalah bersaing dengan permainan anak modern seperti band. Kebanyakan pemuda
minang akan datang beramai-ramai menonton pertunjakan band, sebaliknya mereka
enggan dan tidak mau menonton pertunjukan randai. Hal ini tentu saja akan
membuat keberadaan randai berkurang karena untuk menontonnya saja banyak yang
enggan, apalagi mengambil peran di dalamnya.
5.
Baju
kuruang
Baju kuruang merupakan baju yang sering
digunakan Gadih Minang dan merupakan baju khas pemudi Minang saat itu. Baju
kuruang adalah baju yang longgar, tidak transparan, sopan, tertutup dari leher
sampai mata kaki dan dilengkapi dengan kepala(jilbab, selendang/kerudung) dan
bentuknya beraneka ragam sesuai daerahnya.
Dikaitkan dengan zaman sekarang,
jangankan generasi muda, perempuan yang sudah menikah pun kini telah jarang
dijumpai memakai baju kuruang. Baju kuruang dinilai kuno, tidak fashionable,
panas dan berbagai alasan lainnya.
Banyak kalangan yang menilai bahwa baju
kuruang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut saya pendapat ini
tidak benar, buktinya dengan berpakaian muslimah kita tetap bisa merasa nyaman
dan bebas beraktifitas. Bukankah baju kuruang hampir sama dengan baju muslimah
?. Inti dari baju kuruang adalah longgar, tidak transparan, sopan dan memakai
kerudung. Hal ini sama dengan yang dipakai seorang muslimah dalam Islam karena
budaya Minangkabau merupakan akulturasi budaya Islam. Pakaian ketat,
transparan, tidak menggunakan jilbab seperti pada saat sekarang ini bukanlah
budaya orang Minangkabau. Budaya yang seperti itu merupakan budaya orang asing
yang bertentangan dengan budaya kita sendiri. Bersyukur pada saat ini budaya
baju kurung mulai dikembangkan kembali oleh pemerintah kepada generasi wanita
muda minangkabau baik secara sadar maupun tidak teman – teman sejawat saya di
sekolah memakai pakaian saragam sekolah yang diadopsi dari pola baju kuruang
itu sendiri. Mudah – mudahan dengan cara demikian kaum muda terbiasa dan menghargai
berpakaian secara muslimah.
6.
Makan
Bajamba, Duduak Basimpuah dan Baselo serta Makan dengan Tangan.
Makan bajamba merupakan budaya orang
Minangkabau. Makan bajamba dilakukan dengan cara duduk melingkar, duduk baselo
bagi laki – laki dan basimpuah bagi perempuan. Nasi dan sambal diletakkan di
atas daun pisang (sepanjang daun pisang tersebut). Kemudian nasi mulai dimakan bersama
secara serentak. Orang Minang makan tidak menggunakan sendok melainkan dengan
menggunakan tangan.
Namun, dapat kita lihat zaman sekarang
budaya makan bajamba sangat jarang ditemukan di sekitar kita. Orang Minang
lebih sering makan sendiri – sendiri dan mulai meniru budaya barat yaitu makan
dengan menggunakan sendok. Makan dengan sendok sih wajar saja dilakukan, akan
tetapi sebaiknya digunakan pada saat acara- acara tertentu seperti menghadiri
kenduri, dan sebagainya. Jadi, budaya makan bajamba dan makan dengan tangan
jangan sampai kita tinggalkan apalagi dilupakan. Dan makna dari makan bajamba
adalah kebersamaan yang memaknai rasa syukur apapun nikmat yang didapat, rezeki
yang didapat bukanlah milik sendiri tetapi bersama.
7.
Permainan
Anak Nagari
Permainan anak nagari adalah permainan
tradisional anak – anak masyarakat Minang, seperti cakbua, kayang, mancik –
mancik, dan sebagainya. Permainan cakbua dimainkan oleh dua grup yang terdiri
atas 5-8 orang, memainkannya dengan menangkap anggota grup lawan yang sedang
melewati kotak-kotak,
Permainan kayang dimainkan oleh beberapa
orang,memainkannya dengan cara mengedepankan tulang belakang dan kemudian batu
dilempar, sedangkan mancik-mancik dimainkan oleh beberapa orang, memaikannya
dengan cara sebagaian bersembunyi dan seseorang mencari.
Pada saat ini permainan anak nagari
sudah jarang dimainkan anak – anak masyarakat minang karena mereka lebih
memilih bermain game di handphone, gadget dan sebagainya, sedangkan hal itu
banyak membawa dampak negatif bagi mereka seperti mata sakit, ketagihan bermain
sehingga lupa belajar dan lainnya. Sedangkan permainan anak nagari mempuyai
fungsi sosial seperti keakraban, pertemanan, kerjasama dan lainnya karena permainan
anak nagari tersebut mulai pudar dan hilang yang digantikan oleh permainan
modern yang bersifat individualisme. Secara tidak langsung merubah karakter
generasi muda saat ini yang lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang
kepentingan bersama atau masyarakat.
Suka
maupun tidak suka permainan adalah pendidikan dasar non formal yang akan
membentuk kepribadian kepada pelaku permainan itu sendiri, karena permainan
anak nagari harus dilakukan berkelompok apapun jenisnya. Secara tidak langsung
pelaku permainan tersebut terdidik untuk memiliki rasa kerjasama pengertian dan
toleransi sangat tinggi yang pada akhirnya terbawa dalam kehidupan sehari- hari
mereka. Begitupun dengan permainan modern, suka atau tidak suka karena
permainan ini tidak membutuhkan orang lain atau hanya kepandaian kita sendiri,
akan membentuk kharakter arogansi ( ego) kepada pelaku permainan tersebut, yang
nantinya akan terbawa dalam kehidupan pribadi mereka dalam masyarakat. Jadi
permainan itu pendidikan dasar bagi anak – anak.
8.
Hilangnya Pembatas Pergaulan antara Laki – laki dan Perempuan
Dalam hal
pergaulan sehari-hari antara perempuan dan laki – laki dalam kebudayaan
masyarakat Minangkabau sangatlah diperhatikan, karena masyarakat Minangkabau tidak
mau hal – hal yang tidak diinginkan itu terjadi di daerah Minangkabau. Dalam
hal pergaulan antara laki- laki dan perempuan masyarakat Minangkabau sesuai
dengan syariat islam misal ditabukan pertemuan antara laki-laki dan perempuan
dalam suatu tempat tanpa ada orang lain, berjabat tangan, menyentuh atau
memandang sehingga dulu banyak perkawinan yang dijodohkan yang ditentukan oleh
orang orang tua laki – laki ( ayah ), saudara laki – laki dari ibu (mamak) dan
saudara kandung laki – laki dari perempuan itu sendiri
Seiring
berjalannya waktu dan besarnya arus globalisasi pembatas-pembatas itu mulai
pudar dan hilang dengan alasan klasik, Sekarang bukan zamannya Siti Nurbaya,
dan paham sekarang bahwa pernikahan itu harus dilandasi dengan cinta dan
perkenalan yang sangat mendalam dalam membangun suatu rumah tangga. Secara
bahasa ilmiah kedua paham di atas ada kurang dan lebihnya, dilihat dari segi
religius paham yang dipakai orang dulu lebih memiliki kesempurnaan dalam
membangun suatu hubungan rumah tangga baik secara individu, keluarga dan sosial
masyarakat dilihat dari sisi pandang duniawi dan egoisme dan isu HAM yang
berembus zaman modern paham tersebut sungguh sangat tertinggal untuk saat ini.
Sedangkan paham
yang dilandasi dengan cinta lebih elegan untuk saat ini walau dalam
kenyaataannya paham cinta tersebut banyak yang tidak berhasil dipertahankan
sampai akhir kehidupan mereka karena mengesampingkan agama dan adat istiadat
sebagai bahasa sosial masyarakat yang berlaku di daerah tersebut.
9.
Hilangnya tata krama
Tata krama
sering didoktrinkan sebagai “kato nan ampek” ( kata yang empat),yaitu “kato
malereng, kato mandaki, kato manurun, kato mandata” .Keempat tatanan
tersebut akan dijabarkan sesuai dengan masalah sosial dalam masyarakat yang harus
diselesaikan contohnya “kato nan ampek” di dalam pergaulan sehari – hari
“kato mandaki” diartikan dengan tata cara kita bicara terhadap orang tua
kita dengan menghormati orang tua kita, “kato malereng”. diartikan tata
cara beradab dan berbicara terhadap orang yang lebih tua dari kita, “kato
mandata” diartikan tata cara beradab dan berbicara dengan teman sebaya, “kato
manurun” diartikan adab bicara dengan orang yang lebih kecil dari pada
kita.
Dalam segi agama, “kato mandaki” itu
diartikan hubungan kita dengan allah (hablul minallah), “kalo malereng”
itu diartikan sebagai tata cara menjalankan agama islam, “kato mandata”
itu diartikan sebagai hubungan kita dengan sesama manusia ( hablul minannas)
dan ”kato manurun” diartikan sebagai bagaimana cara kita menyantuni anak
yatim, fakir miskin dan masyarakat terlantar di daerah kita tersebut. Secara
syarak atau agama dibunyikan sebagai sadakah jariah dan ilmu yang bermanfaat
Seiring
berjalannya zaman kato-kato tersebut mulai pudar dan berangsur-angsur
menghilang karena terjadinya pergeseran pergaulan di tengah- tengah masyarakat
baik secara materialistis dan arogan masyarakat kelas atas ( kecukupan ekonomi/
finansial) dan kaum muda saat ini yang pada dasarnya merugikan hubungan sosial
masyarakat dalam keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kebudayaan
suatu daerah alam Minangkabau tidak akan pernah pudar atau hilang sebagai
tatanan hukum dalam masyarakat itu sendiri karena pada dasarnya adat istiadat merupakan
satu tatanan hukum yang tidak tertulis tapi mengikat masyarakat dalam ruang
lingkup di suatu daerah atau daerah Minangkabau itu sendiri. Jadi kekuatan
hukum tersebut tidak akan punah selagi masyarakat tersebut masih menghargai tatanan
hukum yang berlaku. Apalagi di daerah Minangkabau tatanan adat tersebut
berdasarkan syariat agama islam yang dianut oleh masyarakat itu sendiri, Dan
tatanan yang berlaku dalam tatanan masyarakat Minangkabau sendiri menggabungkan
tiga elemen inti dalam masyarakat yang disebut dengan “tigo tungku
sajarangan dan tigo tali sapilin” yang dilambangkan tiga warna merah,
kuning, dan hitam atau sering disebut dengan marawa yaitu unsur orang tua
(hitam) yang mewakili niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai dan orangtua atau
pamangku adat,unsur kaum perempuan atau bundo kanduang(kuning),orang muda atau
unsur – unsur muda / bujang jo gadih (merah)
3.2 Saran dan kritik
Mari kita
generasi muda menghargai dan menjaga tatanan kehidupan yang telah diwarisi oleh
orang tua kita secara baik dan benar, apabila ada kesalahan dalam penulisan
artikel ini saya mohon kritikan dan petunjuk untuk membenarkan karya tulis
ilmiah. Karya tulis ilmiah ini supaya berguna bagi penulis khususnya bagi
generasi muda, dan masyarakat pada umum
EmoticonEmoticon